PDIP vs Parpol Pro Anies soal Dosa yang Belum Di-Laundry
Anggota DPR RI F-PDIP ini menuturkan politik identitas pada Pilgub 2017 menimbulkan polarisasi di masyarakat. Masalah politik identitas inilah yang menurut Deddy belum diselesaikan Anies dan tidak dilupakan oleh PDIP.
"Ada satu dosa yang belum pernah di-laundry oleh Anies. Ini berkaitan dengan itu, dengan kelompok minoritas. Kita tahu bahwa apa yang terjadi pada pemilu 2017 pada waktu Pilgub," kata Deddy dalam acara Adu Perspektif kolaborasi detikcom dengan Total Politik bertema 'Koalisi Partai: Makin Erat atau bubar', Senin (16/1).
Residu Pilgub DKI Jakarta 2017 belum dilupakan PDI Perjuangan (PDIP) jelang Pilpres 2024. Partai berlogo banteng moncong putih itu menilai Anies Baswedan meninggalkan 'dosa pilkada', sedangkan partai pro Anies Baswedan menampik anggapan PDIP.
Politikus PDIP Deddy Sitorus yang mulanya mengatakan ada dosa yang belum pernah dicuci oleh Anies Baswedan. Deddy menyebut dosa ini berkaitan dengan Pilgub DKI Jakarta 2017.

"Ada yang namanya forgive but not forget loh. We forgive but we not forget, kenapa? Karena dia (Anies) tidak pernah menyatakan secara pribadi bahwa apa yang terjadi itu salah dan saya menyesal, dan saya berjanji itu tidak terulang," imbuhnya.
Ditampik
Wasekjen NasDem Hermawi Taslim yang ikut dalam diskusi itu menanggapi pernyataan Deddy soal Anies belum mencuci 'dosa pilkada". Dia menyebut Anies tidak bisa memilih siapa yang akan mendukungnya.

"Jadi begini, anda ketika menjadi seseorang, anda tidak bisa memilih siapa pendukung anda. Cara pandang kami terhadap Anies adalah di republik yang plural ini anda tidak bisa mengurus negara ini sendiri, semua anak bangsa harus diajak. Maka ketika ada pertanyaan apakah NasDem mendukung langkah Anies untuk bertemu dengan berbagai kalangan, saya bilang kita mendukung, kenapa? Kita harus rekonsiliasi, kita harus terus membangun kebersamaan," kata Taslim.
Taslim menilai harusnya tidak ada satu pihak yang mengklaim bahwa dirinya paling nasionalis, sehingga menuduh orang lain sebagai kadal gurun atau kadrun.
Memaafkan Tak Melupakan
Deddy kembali menanggapi pernyataan Taslim. Dia menyebut politik identitas yang terjadi pada 2017 adalah warisan yang ditinggalkan Anies dalam konteks pluralisme.

"Nggak ada satu diri mengklaim diri paling nasionalis lalu dengan mudah menuduh orang kadrun segala macam. Kita semua dibutuhkan perannya," jelasnya.
Belum Move On?
Juru bicara PKS M Kholid menilai pernyataan PDIP sikap belum beranjak dari masa lalu dan dinilai seperti buzzer. Padahal, menurut PKS, Anies lebih banyak mengajukan gagasan dan kerja.

"Tadi saya bicara tentang sosok Aniesnya. Tetapi inilah yang kemudian menjadi legacy Anies dalam konteks pluralisme, karena dia mengabaikan itu," kata Deddy.
"Tadi saya sudah bilah, okelah we forgive him, but we'll not forget. Karena dia nggak pernah bicara tentang itu sama sekali, padahal itu momentum di mana hal yang paling menyakitkan dalam pluralisme kita terjadi," imbuhnya.
"Belum move on, narasinya terus mengangkat politik identitas, dan melabeli Pak Anies dengan stigma negatif. Khas buzzer," ujar Kholid kepada wartawan, Selasa (17/1).
Kholid mengatakan saat ini Anies tengah aktif menjalankan politik diplomasi Jakarta di level global. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa Anies berhasil menjadi pemimpin yang diakui oleh tokoh dunia.

"Padahal Pak Anies sudah bicara politik gagasan, politik kinerja, dan sekarang sedang keliling dunia, aktif menjalakan politik diplomasi Jakarta di level global, dihormati tokoh-tokoh dunia sebagai pemimpin yang berhasil memimpin Ibu Kota," tuturnya.
Dianggap Tendensius
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat (PD) Kamhar Lakumani menilai anggapan Anies belum laundy 'dosa pilkada' sebagai hal yang sesat dan menyudutkan Anies. Demokrat justru menyindir sosok lainnya.
"Pernyataan ini tendensius dan menyesatkan. Terekam kuat dalam memori publik dan banyak rekam jejak digitalnya, siapa yang sesungguhnya menjadi pemicu politik identitas," kata Kamhar kepada wartawan, Selasa (17/1).

"Isu sensitif ini juga secara masif dimainkan dan diamplifikasi para buzzer hingga pada titik tertentu menjadi kebablasan yang memicu konsolidasi politik umat Islam, tak hanya di Jakarta tapi se-Indonesia yang kemudian mengkristal pada Aksi 212," ujarnya.
"Kami di tim AHY merasakan betul bagaimana Ahok yang sedang berkuasa dan didukung penguasa memainkan banyak instrumen untuk pemenangan dan mendegradasi kompetitornya dengan berbagai hoax," lanjutnya.
"Sudah pasti bukan AHY dan pasangannya atau Mas Anies dengan pasangannya, justru Ahok lah yang sering menyerempet dan bermain-main dengan wacana pada ranah sensitif ini, yang kemudian kebablasan dan terbukti secara hukum yang menyebabkannya diterungku," sambungnya.
Kamhar mengatakan karena isu tersebut, sehingga memicu konsolidasi politik umat Islam dan tercipta Aksi 212. Dia mengatakan lawan pasangan Anies saat itu banyak memainkan instrumen pemenangan.

Lebih lanjut, menurutnya, masyarakat harus melihat rekam jejak pada masa itu. Dia menilai Anies hanya diuntungkan oleh blunder politik yang dibuat oleh lawan pasangannya.
"Jadi lebih pas melihat potret pada masa itu, Mas Anies diuntungkan oleh blunder politik Ahok yang over konfiden karena didukung Pak Jokowi mengeksploitasi secara berlebihan politik identitas yang kemudian menjadi bumerang. Jangan dibolak-balik," ujarnya.