Menjaga Kedaulatan Negara di Angkasa dengan Bisnis Satelit
Sebagai negara kepulauan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia merupakan sebuah tantangan tersendiri. Untuk mengatasi persoalan tersebut, keberadaan satelit sangat diandalkan, khususnya untuk menjangkau daerah yang tidak bisa dicapai infrastruktur daratan.
Saat ini, di Indonesia terdapat dua jenis satelit yang beroperasi, yaitu Geostationery Earth Orbit (GEO) dan Low Earth Orbit (LEO). Dari sisi jarak, satelit GEO lebih tinggi orbitnya ketimbang satelit LEO.
Satelit GEO menawarkan kestabilan posisi yang unggul dengan kapasitas transponder yang besar yang ideal untuk melayani wilayah geografi Indonesia yang luas. Sementara satelit LEO menawarkan latensi rendah dengan kecepatan tinggi, namun kapasitas transpondernya terbatas.
Dosen ITB, Kelompok Keahlian Telekomunikasi Ridwan Effendy menyoroti bagaimana pentingnya bisnis satelit terutama untuk menjaga kedaulatan bangsa.
"Kalau kita bicara kedaulatan kuncinya ada pada kendali, apakah kita bisa kendalikan bisnis satelit, kendalikan keamanannya, kendalikan dari serangan-serangan yang mengancam dan sebagainya," ujar Ridwan di diskusi Forum Indotelko terkait "Menatap Masa Depan Bisnis Satelit GEO" di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Menurut dia, sudah ada beberapa satelit nasional yang mengorbit, seperti BRIsat yang akan mengorbit hingga 2031, satelit Nusantara Satu hingga 2034, Telkom 3S hingga 2032 dan satelit Merah Putih hingga 2033. Dengan demikian total kapasitas satelit nasional mencapai 8653 MHz dengan kapasitas ekuivalen 17 Gbps.
Selanjutnya, ada HTS Bakti Ka Band di orbit 146 BT yang sudah diluncurkan dan menyusul HTS Telkomsat yang akan menggantikan Orbit 113 yang semula Palapa D Indosat pada 2024.
"Faktanya, kapasitas selalu habis sebelum satelit meluncur, slot itu penuh," kata Ridwan.
Untuk itu, perlu kerja sama bagaimana membuat satelit asing berguna bagi kedaulatan Indonesia, terutama dengan cara mengendalikan Network Management System (NMS) dan Gateway-nya harus di Indonesia, demi keamanan negara.
Menurut mantan Komisioner BRTI ini, untuk mendorong bisnis satelit di Indonesia, pemerintah perlu melakukan beberapa hal. Misalnya dengan memberikan peluang kepada swasta dan BUMN untuk menyediakan komunikasi satelit geostasioner, karena satelit GEO masih dibutuhkan, Pembangunannya bisa dengan insentif berupa dana universal service obligation (USO) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kemudian, dengan membentuk satelit nasional milik Indonesia dan asing dengan akses ke NMS. Selanjutnya, gateway berada dalam yuridiksi Indonesia.
Ini untuk mengantisipasi tingginya satelit LEO yang cakupannya adalah global. "Di sini peran Satelit Bakti bukanlah sebagai kompetitor operator tapi jadi pelengkap," imbuh Ridwan.
"Hal ini penting untuk memastikan agar Negara memiliki kendali atas infrastruktur siber serta kebijakan internet seperti trust positive yang dijalankan oleh Kominfo dan kebijakan lawful intercept dapat dilaksanakan," pungkas Ridwan.